40 Tahun Setia Melayani Tuhan Menjadi Koster

SOSOK lelaki paruh baya dengan tahi lalat di pipi kanan yang selalu sigap mempersiapkan kebutuhan misa kerap dipanggil dengan “Surip”. Seorang ayah dari dua anak perempuan ini adalah koster di Gereja Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pak Surip yang memiliki nama lengkap Antonius Surip ini mulai berkarya di Gereja Paroki Keluarga Kudus sejak tahun 1974 hingga saat ini.

Sejak lahir pada tahun 1959 di tanah kelahirannya Gombong, Jawa Tengah, Pak Surip adalah seorang  muslim. Setelah beberapa kali bertolak dari Gombong – Jakarta, akhirnya Pak Surip menetap menjadi warga Jakarta dan saat ini tinggal di daerah Pejaten. Kala itu, Pak Surip masih bekerja di warung makan Padang di daerah Pasar Minggu. Salah seorang temannya yang muslim menawarkannya untuk menjadi koster di Gereja Paroki Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta. Ketika hendak diantar oleh temannya tersebut ke Gereja, ia dipertemukan oleh Rm. Sunar Wijoyo (alm).

“Saat itu kata Romo dicoba dulu (jadi koster) dan langsung diperbolehkan tinggal di Gereja,” ujar pria dari lingkungan St. Yoseph (Wilayah V) saat berbincang-bincang di Gereja Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta, kemarin.

Tak lama, dua tahun ia bekerja menjadi koster, Pak Surip merasa terpanggil untuk menjadi seorang Katolik. Ia mengaku mendapat ketentraman saat mulai melayani Tuhan dengan menjadi seorang koster di Gereja. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang Katolik. Keinginannya itu mendapat dukungan dari keluarga besarnya yang mayoritas muslim. Tak hanya itu, jajaran Dewan Paroki Keluarga Kudus pun mengamininya. Ia pun mengikuti pelajaran baptis (katekumen) selama setahun dan  akhirnya pada tahun 1976 ia resmi dibaptis dengan menyandang nama baptis, St. Antonius.

“Kerja di Gereja itu panggilan. Disini rasanya tentram. Alhasil saya sampaikan ke orangtua bahwa saya ingin pindah Katolik dan mereka setuju. Kini, Gereja sudah seperti rumah buat saya,” tandasnya.

Kejadian ini tidak hanya memberi kedamaian bagi pribadi Pak Surip. Namun, akhirnya pada di kesempatan itulah ia juga dipertemukan dengan pujaan hatinya yang kini menjadi pendamping hidupnya, Maria Chatarina Saliyem. Sama dengan kisah hidupnya, kala itu, Regina juga berangkat dari seorang muslim. Ia kini bekerja di Seminari Wacana Bakti, Jakarta. Cinta telah mempersatukan mereka, akhirnya tanggal 22 April 1979, pernikahannya diresmikan di Paroki Santa Maria Regina Purbawardayan, Solo. Dari perkawinannya ini, Pak Surip dikaruniai dua orang perempuan yang bernama Antonia Wahyu Sariningsih (sudah berkeluarga dan mempunyai dua anak perempuan), lulusan Universitas Atmajaya jurusan Administrasi Niaga dan Bernadet Apriyani (sudah berkeluarga dan mempunyai satu anak laki-laki), lulusan Universitas Nasional jurusan Sastra Jepang.

Dari situlah awal perjalanan hidup sebagai koster gereja ia tekuni hingga sekarang. Nyaris genap 40 tahun dirinya menjadi koster, banyak hal dan pekerjaan yang dilakukan. Ia merasa terpanggil dan senang dengan pekerjaan ini. Bekerja melayani Tuhan, menurutnya adalah sebagai ungkapan syukur atas semua anugerah yang telah diterimanya, termasuk seorang isteri, buah hati dan cucunya.  (Astri Novaria/KOMSOS)