HIDUP kerap dipenuhi dengan kerja dan kerja. Bahkan, beberapa orang tidur pun masih seperti bekerja, mengigau dan bermimpi sehingga bangun tidur tetap merasa capai. Jika demikian, orang biasanya mencari hiburan. Karena itu, tempat hiburan selalu ramai dikunjungi orang. Orang perlu istirahat, terutama setelah bekerja. Benar! Tetapi, orang kerap salah memilih hiburan dan istirahat.
Istirahat atau hiburan yang dipilih justru menambah beban hidup berikutnya. Setelah berbelanja banyak, orang justru dikejar-kejar penagih hutang (kartu kredit). Seorang anak menghabiskan waktunya sampai larut malam untuk “update status” di Facebook atau Twitter sehingga terlambat berangkat ke sekolah. Seorang anak mengantuk berat di kelas karena menuruti bermain bola waktu istirahat. Seorang suami kehilangan waktu bersama keluarganya demi mengejar kesehatan dan olahraga dan tidur sepuasnya waktu hari-hari liburnya. Seorang ibu tidak tega membangunkan anaknya pada hari Minggu untuk pergi ke gereja karena anaknya kelelahan belajar. Istirahat, menghilangkan orang dari hal penting dalam hidupnya. Benarkah istirahat yang demikian?
Istirahat yang benar seharusnya mengembalikan fokus dalam hidup seseorang. Injil hari ini menunjukkan bahwa Yesus pun memperlihatkan soal istirahat. Dia mengajak para murid-Nya beristirahat meskipun batal karena orang banyak yang memerlukan bantuan mereka. Justru disinilah mampu ditunjukkan oleh Yesus, apakah yang menjadi perhatian utama dalam hidup Yesus itu. Istirahat tidak membuat Yesus dan para murid-Nya kehilangan perhatian utama hidup mereka, yaitu tindakan kasih terhadap sesama.
Yesus menunjukkan bahwa istirahat yang benar bisa tetap mengembalikan hati yang lelah karena urusan pekerjaan dengan belas kasih terhadap sesama. Hati yang dipenuhi dengan kerja, kekuatiran, kecemasan, perhitungan untung rugi, iri hati, jengkel, marah, dendam, dikembalikan menjadi hati yang mau berkorban, mengampuni, melayani, memberi kesempatan kembali kepada yang bersalah untuk memperbaiki hidupnya, mau memberikan diri kepada yang lain meski disakiti. Dengan istirahat, hati dikuatkan kembali untuk berbagi hidup dengan sesama, tidak hanya kembali memuaskan egoisme diri sendiri dan demi keuntungan bisnis semata.
Istirahat yang benar mengembalikan hati bapa yang marah kepada anaknya menjadi hati yang memeluk anaknya yang telah berbuat salah besar dalam hidupnya; istirahat yang mengembalikan kekuatan seorang isteri yang mau menerima kembali suaminya yang telah sekian lama meninggalkan keluarganya.
Apakah “aku” mau kehilangan kedekatan dengan keluargaku demi mengejar “istirahatku”? Jenis istirahat apa yang biasa aku jalani? Apakah istirahatku membuat semakin berbela rasa kepada orang lain yang ada di sekitarku? Ataukah hanya untuk mencari kepuasan diri?
Hari Minggu Biasa XVI, 22 Juli 2018