Dia Menjadikan Segala-galanya Baik

12092355701536320587

BEBERAPA waktu ini, kita masih dalam euforia kegembiraan pelaksanaan Asian Games ke 18 yang berlangsung di Jakarta dan Palembang. Dalam acara tersebut, hampir seluruh warga negara dengan caranya sendiri-sendiri merayakannya. Dikatakan hampir, karena tidak semua merasa tertarik atau bahkan senang dengan diselenggarakannya acara tersebut.

Mereka beranggapan, Indonesia tidak siap menyelenggarakan event sebesar Asian Games. Dalam keadaan negara yang sedang berjuang menghadapi bencana dan goncangan ekonomi, Indonesia dirasa tidak mampu melaksanakan penyelenggaraan ini. Kalau pun dipaksakan, bisa saja menimbulkan keadaan yang kurang baik bagi bangsa dan negara. Intinya, ada beberapa orang yang pesimis tentang keberhasilan acara ini diadakan.

Tetapi, nyatanya Indonesia mampu. Banyak pihak menilai bahwa penyelenggaraan Asian Games ini berjalan dengan baik, bahkan amat sangat baik. Semua di mulai dari optimisme, kerja keras dan kerja sama yang baik, serta dukungan dari banyak pihak. Mungkin, hal yang sama juga terjadi dalam kisah Injil yang kita renungkan hari ini.

Dalam bacaan Injil hari ini, kita membaca kisah Yesus yang menyembuhkan orang tuli yang gagap. Di banyak tempat dalam Injil, Yesus dikisahkan seringkali menyembuhkan orang-orang yang sedang sakit. Jadi, tidak aneh bila Yesus kembali dikisahkan menyembuhkan orang ini. Tetapi, mengapa Markus secara khusus menuliskan kisah ini? Untuk menjawabnya, kita perlu membaca kisah ini secara utuh di Bab 7 Injil Markus di mana kisah ini terletak.

Menurut beberapa ahli Kitab Suci, Injil Markus ini ditulis bagi mereka yang baru mengenal Yesus, terutama bagi orang-orang Yahudi di luar Palestina dan juga bagi orang-orang yang bukan Yahudi. Menurut Markus, Inijl itu memang pertama ditujukan kepada bangsa Yahudi, tetapi tidak menutup bagi orang bukan Yahudi pun menerima Injil, asalkan percaya. Percaya bahwa Yesus adalah Mesias dan Juru selamat. Kepercayaan ini yang membuat kesembuhan. Sembuh, berarti pulih dari keadaan tidak baik menjadi baik. Tuli menjadi mendengar, bisu menjadi berbicara. Kepercayaan ini bisa juga diartikan dalam penyelenggaraan Asian Games tahun ini. Optimis bahwa akan berlangsung dengan baik.

Namun, optimisme itu tidak ada artinya kalau tidak digerakkan, dilaksanakan. Pelaksanaan iman ini akhirnya tidak hanya mendatangkan kesembuhan dan sukacita pribadi, tetapi juga akhirnya membawa semakin banya orang juga merasa optimis dan akhirnya sembuh. Optimisme dan rasa syukur adalah hal yang berkaitan. Keduanya lantas menjadi energi untuk menciptakan keadaan yang lebih baik.

Tanpa kedua hal itu, maka yang ada adalah kemandekan dan lama kelamaan mendatangkan kehancuran. Bila kita berhenti optimis memandang masa depan, berhenti untuk bersyukur, berhenti untuk mengusahakan yang baik maka kehancuran akan kita alami. Kita akan semakin terikat dan tidak bebas. Tentu hal ini tidak ingin kita alami. Maka optimis bersyukur dan teruslah mengusahakan yang paling baik, untuk Tuhan, sesama dan diri sendiri. Tuhan memberkati.

Hari Minggu Biasa XXIII – Rm. Yohanes Radityo Wisnu Wicaksono, Pr