Anggur Produk Dalam Negeri

kiman-ilustrasi-hosti-dan-anggur-september-2017-hidup-katolik

GEREJA Katolik Indonesia untuk kebutuhan peribadatannya amat tergantung pada anggur (wine, bukan grape) yang masih import. Padahal, beberapa daerah di Indonesia memiliki agroklimat yang cocok untuk perkebunan anggur, yaitu dataran rendah (0-300 meter dpl) yang panas, kering dan banyak angin, seperti Buleleng (Bali Utara), Probolinggo (Jawa Timur), serta beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sudah lebih dari satu abad Gereja Katolik Indonesia mengimpornya dari Eropa dan Australia untuk memenuhi kebutuhan di keuskupan-keuskupan maupun komunitas-komunitas di seluruh Indonesia. Setelah sekian lama berjuang mewujudkan mimpi untuk berswasembada anggur misa, Kamis (29/11) lalu di Sababay Winery, Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali dilakukan peluncuran anggur misa produk dalam negeri sekaligus penandatanganan pernyataan Nihil Obstat oleh Ketua Komisi Liturgi KWI Mgr. Petrus Boddeng Timang.

Gagasan ini muncul dalam setiap sidang KWI selalu muncul laporan tentang anggur misa dalam jumlah banyak dan dengan biaya milyaran rupiah untuk mengimpornya. Dipikirkan apakah jumlah yang sekian banyak ini bisa dikurangi seandainya anggur bisa diproduksi dalam negeri? Lagipula, produksi anggur misa sendiri juga diharapkan dapat menaikkan potensi ekonomi dalam negeri, memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, serta memberikan nilai tambah pada petani anggur lokal.

Wacana tentang anggur misa produksi dalam negeri digulirkan sejak Sidang Sinodal KWI 2010. Namun, para uskup dalam sidang tersebut belum memutuskan rekomendasi terhadap pemikiran tersebut. Hingga atas dorongan Mgr. Julianus Sunarko, SJ dalam rangka memaknai 50 tahun hierarki Indonesia dalam konteks kemandirian Gereja Katolik di Indonesia, diadakan workshop anggur misa di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada 30 April 2011. Hasilnya menunjukkan sampel anggur lokal mengandung kadar alkohol 40% dan gula 12%, sementara anggur impor mengandung kadar alkohol 38% dan gula 19%.

Setelah beberapa tahun vakum, wacana ini mencuat kembali dalam Rapat Presidium bulan Agustus 2016. Hal ini disebabkan terutama keluarnya Peraturan Bank Indonesia nomor 18/2016 tentang transfer valuta ke luar negeri (outgoing transfer) dengan nilai setara di atas USD 100.000. Juga karena semakin rumit dan lambatnya proses perizinan di dalam negeri, meskipun segala dokumen yang dibutuhkan sudah dipenuhi serta besarnya beban-beban biaya lain dalam proses pendistribusian ke tiap-tiap keuskupan.

Setelah melalui penjajakan dengan pihak-pihak terkait, diskusi panjang serta studi banding di beberapa pabrik anggur, Tim Swasembada yang baru dan Tim Liturgi KWI mulai membuat persiapan dan mematangkan penyediaan anggur misa produk dalam negeri. Hal ini diteguhkan dengan keputusan Sidang Tahunan KWI 2017 nomor 6 yang menyatakan bahwa KWI menyetujui pengadaan anggur misa untuk memenuhi kebutuhan Gereja di Indonesia. Untuk itu, Direksi bersama Komisi Liturgi KWI diminta melakukan studi kelayakan pengadaan anggur misa.

Untuk menindaklanjuti keputusan Sidang KWI ini, Tim Swasembada Anggur Misa dan Tim Komisi Liturgi KWI mengadakan kunjungan langsung ke perkebunan anggur di Kabupaten Buleleng, Bali Utara, 19 Desember 2017 lalu. Sebelumnya, kedua tim sudah sempat berdialog dengan Tim Sababay Winery di Gianyar untuk mematangkan rencana penggunaan anggur misa produksi dalam negeri serta meninjau proses produksi angur di pabrik pengolahan Sababay Winery.

Akhirnya, segala upaya dan jerih payah yang melelahkan dan menguras tenaga tersebut membuahkan hasil yang manis. Sejarah baru pemakaian anggur misa produk dalam negeri pun akan segera dimulai. (Dokpenkwi.org/KOMSOS)