SAYA pernah mendengar dari Bapak Uskup mengenai istilah ‘masuk zona resiko’. Saya kemudian mengartikan ‘masuk zona resiko’ sebagai sebuah usaha manusia untuk memasuki situasi yang penuh dengan tantangan. Masuk zona resiko menurut hemat saya membutuhkan keberanian. Masuk zona resiko merupakan sebuah pilihan hidup. Orang memilih untuk menerima tantangan daripada sekedar diam berpangku tangan menikmati kondisi stabil yang membuatnya nyaman. Orang harus siap menghadapi situasi yang tidak nyaman dalam hidupnya. Hal ini dilakukan karena ada sesuatu yang bernilai yang patut diperjuangkan.
Kitab Kejadian yang dibacakan pada Minggu Prapaskah II berkisah tentang Abraham yang dipanggil dan diutus oleh Allah. Abraham dapat dikatakan masuk zona resiko ketika menanggapi panggilan Allah. Ia meninggalkan rumah dan negerinya karena Allah berfirman kepadanya dan berjanji: “Tinggalkanlah negerimu, sanak saudaramu dan rumah bapamu, pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan padamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau” (Kej 12:1-2). Allah memanggil Abraham untuk keluar dari rasa aman dan nyaman untuk menjadi berkat bagi sesama; atau mungkin ada yang mengistilahkan, Abraham keluar dari zona nyaman. Ia meninggalkan negeri dan sanak saudaranya.
Kita terkadang dalam hidup ini masuk ke situasi yang tidak nyaman atau dengan kata lain kita berupaya keluar dari zona nyaman dan masuk zona resiko. Makna keluar dari zona nyaman di masa Prapaskah ini salah satu caranya yaitu dengan bermatiraga, berpantang dan puasa. Kita yang mungkin terbiasa makan makanan kesukaan, lalu berusaha pantang makanan tersebut. Pantang dan puasa dapat melatih diri kita untuk peka kepada kebutuhan sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Kita perlu mengusahakan belarasa kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan berkebutuhan khusus. Melalui matiraga di masa Prapaskah ini, ada sebuah nilai baik yang hendak kita perjuangkan. Kita makin dekat dengan Allah, sehingga makin cinta kepada Allah dan sesama. Semoga dengan berbelarasa kepada sesama yang membutuhkan, kita dapat menjadi berkat bagi sesama.
(RD. Antonius Pramono)