Bonafacsius Hargens: “Menjadi Katolik, adalah Sebuah Proses”

SETIAP orang punya caranya sendiri untuk menunjukkan kepeduliannya untuk orang
banyak. Ada yang menyumbangkan apa yang dimiliki, menolong orang yang membutuhkan, berkecimpung di sebuah organisasi kemanusiaan, dan ada pula yang masuk ke dunia politik. Namun bukan menjadi seorang politisi, melainkan orang yang memiliki kemampuan untuk menganalisa suatu kondisi politik. Dialah, Bonifasius Hargens.

Nama yang tidak asing sebagai pengamat politik di Indonesia. Boni, begitu panggilan akrabnya, sangat percaya bahwa politik adalah ruang untuk mewujudkan kepeduliannya terhadap orang banyak. Ia berpandangan hal itu juga sejalan dengan misi Gereja dalam membangun kerajaan Allah di tengah dunia. Kerajaan Allah dalam pengertian, sebuah kondisi hidup yang dirajai oleh keadilan, perdamaian, kebenaran, sikap bela rasa, dan cinta kasih.

“Saya mencintai dunia politik karena saya percaya bahwa politik adalah ruang untuk mewujudkan kepedulian terhadap orang banyak. Hakikatnya, politik itu mengenai kepentingan orang banyak. Maka, politik mengandung bobot moral yang kuat,“ ujar pria yang juga merupakan umat Paroki Pasar Minggu ini kepada Majalah Inspirasi.

Karena kecintaannya terhadap dunia  politik itulah, Boni yang merupakan lulusan Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) tahun 2005, sering terlibat dalam banyak diskusi politik. Ia juga melanjutkan pendidikannya ke jenjang Magister dan Doktor di Humboldt Universitaet, Jerman dan Walden University di Amerika Serikat.

“Seharusnya, setiap orang Katolik yang berkecimpung dalam dunia politik digerakkan oleh semangat kepedulian terhadap orang lain yang merupakan ukuran tertinggi dari “menjadi Katolik”,” tambah warga umat Lingkungan 3.02 itu.

Boni juga mengapresiasi langkah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) yang berani memilih ungkapan “Mengamalkan Pancasila” sebagai program keuskupan atau tema utama dari Arah Dasar 2016-2020. Menurutnya, selain sebagai pandangan hidup bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai moral yang selaras dengan prinsip kemanusiaan universal dan dengan ajaran agama apapun di muka bumi.

“Pancasila harus diamalkan oleh tiap warga negara termasuk orang Katolik. Seperti yang dikatakan Mgr Albertus Soegijapranata, kita adalah 100 % Katolik dan 100 % Indonesia. Saya salut dan berterimakasih kepada Bapa Uskup, Mgr Ignatius Suharyo yang telah memutusan Pancasila sebagai tema utama Ardas 2016-2020,” paparnya.

Menurut pria kelahiran Februari 1981 ini, dimasukkannya ungkapan Pancasila dalam Ardas yang baru tersebut bukan berarti telah terjadi degradasi nilai Pancasila di Indonesia. Tetapi, sambung dia, justru mencerminkan eskalasi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia dalam menghargai dan mengamalkan Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia.

“Bahkan saya berharap, agama lain pun harus ikut pro aktif mensosialisasikan pengalaman Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan beragama,” tandasnya.

Kepada Majalah Inspirasi, Boni menyatakan bahwa Kekatolikan atau Katolisitas bukanlah sebuah identitas yang pasif melainkan sebuah proses. Menjadi Katolik, kata Boni, adalah sebuah proses panggilan untuk menjadi “Kristus-Kristus kecil” yang menjadi terang dan garam bagi orang lain.

“Kualitas Kekatolikan tidak ditentukan oleh seberapa sering seseorang berdoa tetapi oleh kualitas kepedulian kita kepada sesama dan gereja berdasarkan nilai-nilai Kristiani yang tertuang dalam injil,” ungkapnya.

Boni menceritakan awal menjadi seorang Katolik merupakan sebuah “konsekuensi” atas kelahirannya sebagai orang Flores di tengah masyarakat Katolik yang berakar kuat. Hidupnya mulai berubah setelah ibundanya meninggal dunia pada tahun 1994. Saat itu Boni masih duduk di bangku kelas II SMP, di Seminari Pius XII Kisol, Manggarai. Sempat ia menyalahkan Tuhan atas realita yang ia hadapi. Di depan patung Kristus Raja di kapella (baca: gereja kecil) di seminari ia pun menantang Tuhan.

“Saya bilang, ‘kalau Kau benar ada, hadirlah malam ini dalam mimpi saya’. Seperti sebuah kebetulan, Ia memang hadir dalam mimpi. Dan tidak hanya sekali, tetapi setiap malam selama satu bulan. Sampai akhirnya saya kembali berlutut di depan patung itu dan berdoa, ‘Tuhan, saya percaya Kau ada, tapi beri aku kekuatan untuk bisa mengimanimu dengan akal budi yang saya miliki,’” paparnya.

Sejak saat itu, tepatnya di kelas IV Seminari (baca: kelas I SMU), ia merasakan ada perubahan besar dalam kehidupan rohaninya. Akhirnya, menjelang tamat kelas VI (baca: kelas III SMU), Boni memutuskan untuk masuk Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagai frater CICM.

“Singkat cerita, saya jatuh cinta dengan iklan di Majalah Hidup tentang biara Congregatio Immaculati Cordis (CICM) atau Kongregasi Hati Tak Bernoda Maria yaitu ‘Beranikah Anda Bermimpi? Bermimpi Mengubah Wajah Dunia Menjadi Wajah Kristus’. Begitu penggalan iklannya,” lanjutnya.

Akhirnya pada tahun 1999, Boni memutuskan untuk masuk biara CICM meskipun ada peluang ketika itu untuk kuliah kimia di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Namun, karena merasa terpanggil setelah membaca penggalan iklan di Majalah Hidup, ia memutuskan untuk masuk biara CICM. Bagi Boni, menjadi Katolik adalah sebuah proses, seperti pengalamannya mulai dari menjadi frater, bergaul dengan umat, belajar teologi dan filsafat, mengajar agama Katolik di SMU Tarakanita I Jakarta dan bekerja sebagai buruh di pabrik kayu, termasuk pengalaman mengasuh anak jalanan di Jakarta.

“Semuanya itu semakin mematangkan pengertian saya tentang menjadi Katolik. Bahwa mejadi Katolik adalah sebuah proses. Proses itu tentu tidak sempurna. Saya merasa, iman justru dikuatkan oleh kisah-kisah jatuh bangun hubungan dengan Kristus. Tanpa hubungan yang mendalam dengan Kristus, hidup menjadi kehilangan substansinya. Dengan kata lain, tanpa Kristus, hidup bukan lagi hidup pada dirinya,” tutup Dosen Ilmu Politik UI ini. (ASTRI NOVARIA/KOMSOS)

Berkah Kanjeng Putri bagi Seorang Maestro Keramik

SEKEPAL tanah liat nampaknya tidak punya nilai. Namun, lewat sentuhan seorang seniman keramik bernama Fransiskus Maria Widayanto, tanah yang biasa digunakan untuk membuat keramik itu bisa berubah menjadi karya seni yang mengagumkan.Salah satunya adalah patung Bunda Maria yang diberi judul ‘Berkah Kanjeng Putri’ yang terpajang di tengah podium lantai dua, GRHA Keluarga Kudus Pasar Minggu dalam acara Penggalangan Dana Pemeliharaan Gereja Keluarga Kudus Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Patung yang dibuat dari tanah batuan asal Sukabumi, Jawa Barat itu merupakan sosok Bunda Maria pada saat mendapat kabar Ilahi bahwa akan mengandung bayi Yesus Kristus (Annunciation). Dibuat oleh pria yang akrab disapa Yanto ini dengan warna cokelat bernuansa etnik. Yanto juga tak lupa melekatkan sejumlah aksesori pada patungnya untuk meningkatkan kesan pada kisah yang ia ceritakan. Ada burung merpati yang mengepakan kedua sayapnya di tangan kanan patung Bunda Maria, yang melambangkan kehadiran Roh Kudus yang membuahkan cinta kasih. Selain itu ada pula bunga teratai serta kupu-kupu di sekitar kain Bunda Maria yang menunjukkan betapa cantik dan harumnya Bunda Yesus itu.

Tak hanya itu, di sebelah kanan patung ‘Berkah Kanjeng Putri’ terdapat pula patung Bunda Maria lainnya dengan model yang berbeda. Patung itu diberi judul ‘Kanjeng Ratu’. Sosok Bunda Maria dalam bentuk patung itu penuh keanggunan nan lembut dengan dibalut kebaya serta jarit perpaduan warna cokelat dan biru panjang yang membungkus pinggang hingga mata kaki. Proses pembuatan kedua patung keramik itu perlu kecermatan tinggi, karena pada temperatur yang tinggi patung bisa terdeformasi, mengerut secara tidak proporsional, ambruk ataupun bengkok.

Agar tetap sesuai dengan model, patung- patung tersebut disangga dengan tonggak- tonggak terbuat dari bahan yang sama dengan pemasangan yang membutuhkan perhitungan matematis yang rumit. Niat Yanto dalam membuat patung Bunda Maria berawal dari kekagumannya pada sosok Bunda Maria, yang dianggapnya sebagai pelidung baginya, sosok yang menjadi teladan dalam hidup serta memiliki semangat melayani dengan kerendahan hati. Nama Maria juga dilekatkan pada pria kelahiran Jakarta, 23 Januari 1953 itu.

“Orang menganggap aneh nama itu ada pada saya, meski Maria kerap kali diberikan pada anak perempuan namun bagi saya Bunda Maria adalah ibu pelindung buat saya. Dan kini, selalu menjadi berkat buat saya,” ujar Yanto saat berbincang dengan Majalah Inspirasi, Minggu (29/3) lalu.

Patung Bunda Maria yang pertama kali dibuatnya adalah patung Bunda Maria berkerudung sambil menggendong bayi mungil. Gereja Katolik Salvator, Petamburan, Jakarta Pusat sempat memesan patung Bunda Maria untuk menggantikan Patung Bunda Maria yang sudah ada sebelumnya. Sang Pastor yang memesan berkata bahwa patung itu justru sesuai dengan ‘Maria Lourdes’ yang tangannya memegang rosario, sementara kepalanya menengok kiri atau ke kanan. Setelah mempelajari patung ‘Maria Lourdes’, akhirnya Yanto memasukan sedikit sentuhan wanita Indonesia tanpa mengubah seluruh ornamen patung ‘Maria Lourdes’. Tapi dengan pertimbagan, patung Bunda Maria berwajah Indonesia mungkin membuat orang tidak datang ke gereja untuk misa, maka pihak gereja membatalkan untuk memasang patung itu. Namun, Yanto tidak berhenti untuk membuat patung Bunda Maria versi Indonesia. Ia bahkan mendapat kesempatan membuat patung Bunda Maria di sebuah Gereja Katolik di kota Nazaret. Bentuk patung itu tampak unik karena mencampurkan unsur mozaik dan relief ke patung Bunda Maria tersebut.

“Sekitar 8 tahun yang lalu, saya diberi kabar oleh salah satu rombongan peziarah yang kesana bahwa di Gereja Kabar Suka Cita, Nazareth, Israel terdapat satu ruang untuk ditaruh lukisan Maria. Ada berbagai sumbangan lukisan Maria dari berbagai pejuru Negara di dunia. Akhirnya, saya buat sketsa dan panitia berpesan agar Bunda Marianya tidak mencerminkan suku tertentu, sebab Indonesia kan berbagai macam suku, jadi harus terkesan Indonesianya namun tetap bergaya santai. Akhirnya saya buat, patung Bunda Maria dengan mengenakan kebaya biru panjang serta jarik motif batik dengan warna senada dengan kerudung putih gaya Ibu Fatmawati (Istri Presiden RI pertama Soekarno),” terangnya.

Selain dari Indonesia, ada pula mozaik lain dari Jepang yang kabarnya menggunakan mutiara asli. Bunda Maria tersebut, sambung Yanto, digambarkan menggunakan kimono dan sedang menggendong bayi Yesus dengan model busana yang sama. Ada juga yang dari Ukraina, China, Singapore, Italia dan beberapa negara lain. Kebanyakan lukisan tersebut menggambarkan Bunda Perawan Maria dengan mengenakan pakaian adat masing- masing negara.

Di setiap karyanya, Yanto sering kali menyisipkan simbol-simbol tradisi lokal yang menjadi ciri khas dari patung keramiknya. Pria lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada tahun 1981 ini mengaku sejak kecil kerap menikmati patung-patung Yunani yang selain diselubungi oleh mitologinya, juga disertai dengan gerak, aura yang khas. Itulah yang diwujudkan dalam karya patungnya. Namun, inilah khas Yanto, sebagaimana yang dia akui ketika dilontarkan kepadanya. Gaya patung Yanto terkesan indah, harmoni serta anggun.

“Saya juga senang dengan tanaman serta binatang maka itu saya sering gabungkan kedua unsur itu dalam karya saya. Begitu juga dengan mitologi, baik itu dari barat maupun lokal buat saya pesannya akan menjadi kuat sekali. Sebagai pembuat keramik yang lahir di Indonesia, wajar bila saya membuat patung menurut budaya Indonesia seperti Loro Blonyo (1990), Golekan (1997), Dewi Sri (2003),” paparnya.

Sebagai seorang Katolik, Yanto menjelaskan, semangat kekatolikan itu bukan hanya di kulit atau di permukaan saja. Ia sangat menghargai alam yang telah Tuhan berikan padanya, termasuk segala hal yang ada di dalamnya, seperti tanaman dan binatang.

“Anda harus mencinta semesta, bukan hanya Anda sendiri. Arti kekatolikan itu bukan orang yang sering datang ke Gereja tetapi bagaimana kita mensyukuri semesta ini dan bagaimana kita bisa berbuat baik juga pada semesta ini. Saya merasa bahagia menjadi orang Katolik karena dapat merasakan banyak kesempatan untuk berfikir, melihat dan merasakan banyak hal. Ini yang ingin saya katakan melalui karya saya,” pungkasnya. (ASTRI NOVARIA/KOMSOS)

40 Tahun Setia Melayani Tuhan Menjadi Koster

SOSOK lelaki paruh baya dengan tahi lalat di pipi kanan yang selalu sigap mempersiapkan kebutuhan misa kerap dipanggil dengan “Surip”. Seorang ayah dari dua anak perempuan ini adalah koster di Gereja Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pak Surip yang memiliki nama lengkap Antonius Surip ini mulai berkarya di Gereja Paroki Keluarga Kudus sejak tahun 1974 hingga saat ini.

Sejak lahir pada tahun 1959 di tanah kelahirannya Gombong, Jawa Tengah, Pak Surip adalah seorang  muslim. Setelah beberapa kali bertolak dari Gombong – Jakarta, akhirnya Pak Surip menetap menjadi warga Jakarta dan saat ini tinggal di daerah Pejaten. Kala itu, Pak Surip masih bekerja di warung makan Padang di daerah Pasar Minggu. Salah seorang temannya yang muslim menawarkannya untuk menjadi koster di Gereja Paroki Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta. Ketika hendak diantar oleh temannya tersebut ke Gereja, ia dipertemukan oleh Rm. Sunar Wijoyo (alm).

“Saat itu kata Romo dicoba dulu (jadi koster) dan langsung diperbolehkan tinggal di Gereja,” ujar pria dari lingkungan St. Yoseph (Wilayah V) saat berbincang-bincang di Gereja Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta, kemarin.

Tak lama, dua tahun ia bekerja menjadi koster, Pak Surip merasa terpanggil untuk menjadi seorang Katolik. Ia mengaku mendapat ketentraman saat mulai melayani Tuhan dengan menjadi seorang koster di Gereja. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang Katolik. Keinginannya itu mendapat dukungan dari keluarga besarnya yang mayoritas muslim. Tak hanya itu, jajaran Dewan Paroki Keluarga Kudus pun mengamininya. Ia pun mengikuti pelajaran baptis (katekumen) selama setahun dan  akhirnya pada tahun 1976 ia resmi dibaptis dengan menyandang nama baptis, St. Antonius.

“Kerja di Gereja itu panggilan. Disini rasanya tentram. Alhasil saya sampaikan ke orangtua bahwa saya ingin pindah Katolik dan mereka setuju. Kini, Gereja sudah seperti rumah buat saya,” tandasnya.

Kejadian ini tidak hanya memberi kedamaian bagi pribadi Pak Surip. Namun, akhirnya pada di kesempatan itulah ia juga dipertemukan dengan pujaan hatinya yang kini menjadi pendamping hidupnya, Maria Chatarina Saliyem. Sama dengan kisah hidupnya, kala itu, Regina juga berangkat dari seorang muslim. Ia kini bekerja di Seminari Wacana Bakti, Jakarta. Cinta telah mempersatukan mereka, akhirnya tanggal 22 April 1979, pernikahannya diresmikan di Paroki Santa Maria Regina Purbawardayan, Solo. Dari perkawinannya ini, Pak Surip dikaruniai dua orang perempuan yang bernama Antonia Wahyu Sariningsih (sudah berkeluarga dan mempunyai dua anak perempuan), lulusan Universitas Atmajaya jurusan Administrasi Niaga dan Bernadet Apriyani (sudah berkeluarga dan mempunyai satu anak laki-laki), lulusan Universitas Nasional jurusan Sastra Jepang.

Dari situlah awal perjalanan hidup sebagai koster gereja ia tekuni hingga sekarang. Nyaris genap 40 tahun dirinya menjadi koster, banyak hal dan pekerjaan yang dilakukan. Ia merasa terpanggil dan senang dengan pekerjaan ini. Bekerja melayani Tuhan, menurutnya adalah sebagai ungkapan syukur atas semua anugerah yang telah diterimanya, termasuk seorang isteri, buah hati dan cucunya.  (Astri Novaria/KOMSOS)