Sejarah Gereja

BAB2

SEMUA berawal dari sebuah kerinduan akan rumah Tuhan yang kemudian dirajut menjadi sebuah harapan. Pada akhirnya, harapan itu pun menjadi sebuah kenyataan melalui usaha, kerja keras, keringat dan air mata.

Sekitar tahun 1957, Bapak Alfonsus J Gondosoemarto yang merupakan seorang pegawai Kementerian Pertanian di bagian Rumah Tangga mengajak para pegawai kementerian Pertanian lainnya yang beragama Katolik untuk berkumpul dan berdoa bersama di rumah kontrakan, tempat ia tinggal bersama dengan keluarganya sejak tahun 1952. Hampir setiap minggu mereka berusaha mendatangkan pastor untuk bisa mempersembahkan misa di rumah kontrakan milik Bapak Raksa itu. Saat itu, Romo Jorna, SJ yang juga merupakan guru Pak Gondo (alm) di Kweekschool Muntilah sering memimpin Misa Kudus dirumahnya. Tidak rutin setiap minggu misa bisa diadakan, terkadang dua minggu sekali atau malah sebulan sekali. Semua tergantung jadwal Romo kelahiran Huizum, Belanda 10 Februari 1896 itu.

Kesempatan untuk dapat mengikuti misa di rumah kontrakan Pak Gondo (alm) pun akhirnya tersebar dari mulut ke mulut di kalangan warga Pasar Minggu yang beragama Katolik. Dari yang awalnya hanya 8 (delapan) orang, bertambah menjadi 18 (delapan belas) orang.

Memasuki tahun 1960, Pak Gondo memperoleh rumah dinas dari Djawatan Pertanian Rakyat. Pak Gondo dan keluarga kemudian pindah ke rumah dinas yang beralamat di Jalan Pertanian III, Pasar Minggu. Kegiatan dan misa pun beralih ke rumah sederhana yang berukuran 6×12 m² tersebut. Seiring berjalannya waktu, tahun 1962, jumlah umat Katolik semakin bertambah dan tercatat mencapai 33 KK atau sekitar 100 orang. Sementara rumah dinas yang memiliki kapasitas sekitar 60 orang itu tidak lagi dapat menampungnya. Padahal sudah diusahakan dengan memasang tenda di halaman luar agar umat tetap bisa mengikuti jalannya misa, meski ruangan ibadat penuh. Pada saat itulah, umat kembali berpindah-pindah tempat untuk ibadah.

Di akhir tahun 1962, Pak Gondo memasuki masa pensiun. Ia dan keluarga kemudian memutuskan untuk pindah ke Muntilan. Sesuai prosedur, administrasi dan peraturan kepegawaian yang berlaku, Pak Gondo menyerahkan kembali rumah dinas yang beliau tempati kepada Direktorat Pertanian Rakyat (DIRTARA). Umat yang sudah berhasil dihimpun ketika itu khawatir akan kehilangan tempat yang selama ini mereka gunakan untuk menyelenggarakan misa.

Namun Tuhan Maha Tahu, kehadiran tokoh-tokoh, salah satunya seperti Bapak Johanes Berchmans Soenarno Puspawardaja (alm) menjadikan kehidupan menggereja menjadi lebih hidup dan bersemangat. Sebab, pria kelahiran Surakarta, 14 Oktober 1918 itulah yang kerap kali memudahkan berlangsungnya misa setiap minggu hingga membukakan pintu gerbang cikal bakal Gereja Katolik Keluarga Kudus Paroki Pasar Minggu.

Pasar Minggu kemudian menjadi stasi dan berinduk di Paroki Katedral, awal tahun 1964. Romo Sutopanitro, Pr pun resmi ditunjuk oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ (1894-1979) untuk berkarya sebagai pastor pertama di stasi Pasar Minggu. Pendirian stasi bertujuan agar umat semakin terlayani dengan maksimal dan reksa pastoral dapat terus berjalan. Sejak tahun itulah, baptisan baru di stasi Pasar Minggu dicatat bergabung dengan buku baptis Paroki Katedral.

Sebagai persiapan menjadi Paroki Pasar Minggu, maka mulai tahun 1965, buku permandian dan buku perkawinan untuk stasi Pasar Minggu mulai dipisahkan pencatatnnya oleh Romo Sutopanitro, Pr di dalam buku tersendiri, meski masih disimpan di sekretariat Paroki Katedral.

Tepat pada tanggal 1 Februari 1967 didirikanlah Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu oleh Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr A Djajasepoetra, SJ. Dengan pembentukan PGDP ini, sempurnalah pendirian paroki baru Pasar Minggu karena statusnya sudah menjadi paroki. Nama-nama baptisan di Pasar Minggu disendirikan pencatatannya di dalam satu buku. Tercatat tanggal 12 Februari menjadi permandian pertama di tahun 1967 atas nama Dominicus Muljono oleh Romo Sutopanitro, Pr. Tanggal itulah yang digunakan sebagai tanda awal berdirinya Paroki Pasar Minggu secara Hukum Gereja yang hingga kini selalu diperingati setiap tahunnya.

Pada tanggal 7 September 1969, nama “Keluarga Kudus” diusulkan oleh Bapak Wisnu Djatikoesoemo (alm) sebagai nama pelindung Paroki Pasar Minggu. Nama “Keluarga Kudus” sebenarnya sudah dimiliki oleh Paroki Rawamangun. Namun, akhirnya Mgr Leo Soekoto, SJ, Uskup Agung Jakarta pada waktu itu setuju, sebab menurutnya usulan nama “Keluarga Kudus” untuk paroki Pasar Minggu memiliki sejarah tersendiri. Ada nilai spiritual yang ditumbuhkan dalam suasana kekeluargaan yang kental selama proses perintisan gereja.

BAB4

Singat cerita, di atas tanah bekas berdirinya bangunan rumah dinas Keluarga Pak Gondo (alm) dibangunlah gedung gereja pertama. Tanggal 8 Juli 1973, saat hari minggu pertama pada masa prapaskah, peletakan batu pertama pembangunan gereja dilakukan oleh Romo M Soenarwidjaja, SJ.

Setahun kemudian, berdirilah gedung gereja pertama dengan luas tanah berukuran panjang 20 meter, lebiar 12 meter dan tinggi 9 meter. Luas wilayah Paroki saat itu juga mencakup stasi Cilandak dan stasi Lenteng Agung dengan 5 wilayah dan 24 lingkungan. Tercatat, jumlah umat Katolik di Pasar Minggu mencapai sekitar 3.000 jiwa (600-an KK) yang mayoritas merupakan pasangan atau keluarga muda. Dan tempat pada tanggal 2 Juni 1974, Gereja Keluarga Kudus Pasar Minggu diresmikan oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Leo Soekoto, SJ sebagai paroki mandiri. (*)

SUMBER: BUKU “DARI KELUARGA UNTUK GEREJA”

MARS GEREJA KATOLIK KELUARGA KUDUS