PERIKOP Injil hari ini dibagi dalam dua bagian, yaitu pemberitahuan kedua tentang penderitaan Yesus (Mrk 9:30-32) dan perselisihan para murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka (ay: 33-37).
Pemberitahuan penderitaan Yesus selalu mendapat reaksi yang negatif dari para murid, bahkan Petrus sampai menegur Dia. Hal ini timbul karena masyarakat Yahudi tidak dikenal penderitaan dalam konsep mesianis. Mesias tampil dengan status dan kuasa yang tinggi yang akan membebaskan dan membawa keselamatan bagi banyak orang.
Padahal Yesus menginginkan para murid untuk melepaskan hal lahiriah tentang status dan kuasa yang dapat membutakan hati nurani, dengan bergeser mengenal Yesus sebagai Mesias: Hamba Allah yang menderita. Dia harus “menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.” Penderitaan sebagai harga sebuah kemuridan. Harga kemuridan dengan mau menderita untuk melawan nafsu serakah dan kuasa yang membutakan hati nurani.
Menjadi yang terdahulu dengan status dan kuasa berkecamuk dalam hati para murid. Nafsu serakah dan kuasa menjadi simbol dari keegoisan manusia. Keegoisan membuat hati nurani mereka menjadi tumpul. Yesus segera menyadari hal ini dan mengambil seorang anak kecil ke tengah-tengah mereka. Yesus ingin membuka mata hati nurani mereka tentang arti kekuasaan atau kemuliaan yang sesungguhnya. Simbol anak kecil ini semata-mata bukan soal kemurnian ataupun kepolosan, melainkan status anak yang memang masih remaja, yakni sebagai anak yang masih harus dibimbing dan belum mempunyai hak-hak sepenuhnya.
Jadi, Yesus mengemukakan suatu tata hubungan antar manusia yang baru: menyambut anak kecil dalam nama-Nya, berarti menyambut Yesus; menyambut Dia berarti menyambut Allah sendiri (bdk. ay. 37). Inilah kemuliaan yang sesungguhnya. Kemuliaan yang membongkar tumpulnya hati nurani.
Dalam keseharian, hasrat terkenal, menjadi kaya raya, disanjung karena kehebatan kita, diakui di mana-mana menjadi dambaan setiap orang. Memang hal tersebut bukan masalah, apalagi dosa. Namun menjadi sandungan ketika hal tersebut menunjukkan sebuah keegoisan dan menumpulkan hati nurani. Yesus, dalam bulan Kitab Suci ini mengundang kita untuk mau menderita demi kemuliaan yang sesungguhnya dengan mengalahkan diri kita sendiri (egosentrisme) dan memiliki hati nurani yang peka dan tajam.
Menurut Rasul Yakobus, kita sebagai murid Yesus membutuhkan suatu “kebijaksanaan hidup yang datang dari atas”, bukan “dari bawah”, yang disebutnya “hawa nafsu”. Sebagai murid Yesus kita harus sanggup menjadi anak kecil untuk menerima “kebijaksanaan dari atas”, yakni ajaran dan teladan hidup serta perbuatan Yesus Kristus.
Hari Minggu Biasa XXV