DI era globalisasi, seni pertunjukan drama mengalami penurunan. Contohnya, seperti pertunjukan ketoprak yang kini sudah mulai surut dan ditinggalkan penggemarnya. Oleh karena itu, pentas ketoprak kebangsaan yang diinisiasi oleh lima paroki, yakni Paroki Kalvari Lubang Buaya, Paroki Cilangkap, Paroki Pasar Minggu, Paroki Jagakarsa, dan Paroki Kampung Sawah, pada 6-7 Oktober 2018 kemarin, seakan memberi pesan kepada seluruh pihak untuk selalu melestarikan seni budaya Indonesia.
“Kami sepakat menggelar seni budaya ketoprak karena kita menilai semakin lama semakin ditinggalkan orang. Sekarang perlu dilestarikan dan kita perbaharui lagi sesuai jaman,” ujar Ketua Panitia Carolus B Kaswandi saat ditemui KOMSOS Paroki Pasar Minggu di Theater Garuda, TMII, Jakarta, Sabtu (6/10).

Ada dua lakon yang dimainkan dalam pentas ketoprak kebangsaan tersebut, yakni Sam Pek Eng Tay (6 Oktober 2018) dan Suminten Ngedan (7 Oktober 2018). Kaswandi menyebut dua lakon itu sengaja dipilih panitia guna menarik minat seluruh umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Sebab, mayoritas dari total keseluruhan umat Katolik di KAJ merupakan keturunan Jawa dan Tionghoa.
“Walaupun tidak sentris karena kita tampilkan dengan kondisi yang mutakhir. Bahasa pengantarnya pun menggunakan bahasa Indonesia, agar semua orang mengerti garis besar dialognya,” jelasnya.
Tak hanya menampilkan berbagai macam unsur budaya, pentas ketoprak kebangsaan itu juga menampilkan kolaborasi yang sangat apik dari berbagai macam suku dan agama. Ada penampilan dari komunitas karawitan SMK Muhammadiyah 3 Cileungsi, Perguruan Pencak Silat PENGSIMATOGA, budaya seni reog ponorogo, barongsai, tari gambyong, tari Warok dan lainnya.
Pemain yang terlibat adalah umat dari kelima Paroki tersebut beserta para Romo, Ustad, tokoh Paroki, antara lain, Rm Martinus Hadiwijoyo, Pr, Rm Johan Ferdinan W, Pr. Rm Rochadi Widagdo, Pr. Rm Fx. Sutarno, MSF. Rm Yohanes Wartaya, SJ. Rm Wisnu Wicaksono, Pr, para Romo lainnya.
Uskup KAJ Mgr I Suharyo menyambut baik dan mengapresiasi pementasan ketoprak kebangsaan ini. Ia berharap, kerja sama yang telah terjalin dalam ikatan paguyuban ketoprak kebangsaan ini tidak berhenti setelah pementasan, tetapi berlanjut dengan kegiatan-kegiatan lain yang lebih mempererat dan menyatukan tidak saja bersama-sama umat kelima paroki, tetapi berkembang dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air di wilayah paroki masing-masing.
Pastor Paroki Pasar Minggu, Rm Yohanes Radityo Wisnu Wicaksono, Pr menyebut butuh banyak usaha untuk menjaga supaya kesatuan dan persatuan bangsa dapat terjaga sampai selama-lamanya. Salah satunya melalui pelestarian budaya pentas seni ketoprak. “Kita menginginkan semua kekayaan itu bukan menjadi sebab perpecahan bangsa, tetapi menjadi kebanggaan kita semua dalam membangun bangsa yang besar ini,” pungkasnya.
Keberagaman budaya Indonesia memang bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. Maka, pagelaran maupun festival budaya menjadi sangat berharga untuk dilakukan demi tercapainya persatuan dalam kebhinekaan negeri kita. Semoga kita semua menjadi bagian dari bangsa yang selalu melestarikan budaya. (ASTRI/KOMSOS)