oleh EJM Danoma K Poespawardaja
BARU saja kita lalui bersama Syukuran Umat untuk menyambut Misa Perdana yang dipimpin oleh seorang Romo “putera asli Pasar Minggu”, Rm.Ambrosius Lolong, Pr pada tanggal 19 Mei 2018. Misa Konselebrasi 6 orang Pastor , 3 diantaranya adalah para Romo yang bersama dengan Romo Lolong menerima Sakramen Imamat dari Bapak Uskup Jakarta pada tanggal 8 Mei 2018, diselenggarakan dengan corak Misa Inkulturasi (dalam hal ini yang dimaksud adalah budaya NTT dan budaya Jawa). Puji dan syukur kepada Tuhan. Umat Gereja Keluarga Kudus terjawab permohonannya hampir selama 26 tahun, menanti lahirnya seorang Imam yang berasal dari umat Pasar Minggu.
Tahun 2018, tahun istimewa bagi panggilan. Sinode para Uskup yang akan digelar di Roma pada Oktober nanti membahas “Iman, Kaum Muda, dan Penegasan Panggilan” . Sinode tersebut menjadi kesempatan untuk merenungkan panggilan secara lebih mendalam. Ada tiga kata kunci yang diunggah Sri Paus Fransiskus dalam pesan beliau untuk Hari Minggu Panggilan Sedunia ke-55 yaitu mendengarkan, menegaskan dan menghidupi. Ke tiga kata kunci itu pula dipilih menjadi tema Hari Minggu Doa Panggilan Sedunia ke-55, “Mendengarkan, Menegaskan, Menghidupi Panggilan”.
Paroki kita telah pula menyelenggarakan Hari Minggu Doa Panggilan Sedunia ke 55 tersebut dengan semarak, meski cukup sederhana, dengan menghadirkan seorang Biarawati, Sr.E.Kristiani, OP dari Jombang (Jatim), dan kedua orangtua Romo A.Lolong,Pr untuk berbagi kisah nyata dengan sekitar 80 anak dan remaja dari BIA dan BIR, perjalanan panggilan membiara yang Suster Kristiani rasakan dan alami, begitu pula yang Bapak dan Ibu Lolong jalani selama mempersiapkan dan mematangkan persembahan mereka kepada Tuhan yang telah berkenan memanggil putera tunggal mereka menjadi Pastor.
Panggilan Tuhan tidak sejelas yang bisa ditangkap indera. Bahkan, kerapkali tenggelam mati oleh kebisingan suara-suara yang memenuhi sanggar ruang batin. Dibutuhkan ketajaman iman untuk mendengarkan dan mencerna desiran suara Tuhan yang memanggil. Tidak hanya sampai di situ. Masih diperlukan penegasan panggilan dalam percakapan dengan Tuhan. Dalam istilah klasik, penegasan in disebut diskresi. Diskresi panggilan tidak selesai dalam satu tindakan. Evangelii Gaudium (51) menggambarkan diskresi dengan tiga kata kerja: mengakui, menafsirkan, dan memilih. Lebih lanjut, seseorang perlu menghidupi panggilannya. Dalam perbincangan dengan Tuhan dan bimbingan Roh Kudus serta dengan merenungkan peristiwa harian bahkan yang tidak terfahami sekali pun, seseorang menghidupi panggilan yang Tuhan anugerahkan kepadanya.
Setiap orang Katolik dipanggil untuk memiliki hidup yag suci dan kudus. Pasangan suami isteri Katolik ketika saling menerimakan Sakramen Perkawinan, telah mengikrarkan untuk menjalankan pendidikan Katolik dalam keluarga. Wujudnya antara lain bahwa anak-anak sebagai generasi penerus Gereja, perlu dibekali nilai nilai Katolisitas dengan cara yang menarik dan menyenangkan. Anak-anak diharapkan dapat menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Yesus. Dengan kata lain, sejak usia dini mereka sudah menerapkan pola hidup Katolik.
Bacaan “Yesus memanggil murid yang pertama” (Markus 1:16-20) mengenalkan adanya panggilan dalam Gereja Katolik kepada anak-anak. Yesus sendirilah yang memilih siapa saja yang menjadi muridNYA. Artinya, setiap anak Katolik dipanggil menjadi murid atau pengikut Yesus.
Dalam perkembangan zaman saat ini, panggilan menjadi penjala manusia belum dikenal luas, baik oleh orang muda, maupun orangtua, apalagi anak-anak. Mengenalkan panggilan “menjadi penjala manusia” kepada anak-anak adalah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud penjala manusia adalah pastor, biarawan, biarawati. Bagaimana mengenalkan bahwa kehidupan pastor, biarawan dan biarawati itu menyenangkan, jelas bukan hal yang mudah bagi orangtua.
Panggilan untuk menjadi “penjala manusia” (dalam Markus 1:16-20) merupakan tugas perutusan Simon dan para murid yang mengikuti Yesus. Namun, tugas ini bukan hanya diperuntukkan bagi Simon dan murid-murid yang lain sebagaimana dikisahkan. Perutusan ini juga untuk kita semua, baik anak remaja, orang muda, Pasutri usia produktif, bahkan kaum Lanjut Usia.
Hal yang utama untuk menjadi penjala manusia adalah niat dan kesungguhan. “Aku mau menjadi penjala manusia untuk Tuhan”, sebuah tekad dasar yang harus dibangkitkan dan dibina oleh kedua orang tua secara terus menerus . Saat Tuhan memintamu untuk menjadi penjala manusia seperti yang terjadi pada Simon, Andreas dan teman-temannya, anak, remaja, orang muda harus siap dan berani menjawab “YA”.
Menilik masa perkembangan kejiwaan mereka, sejak dulu, bukan hanya belakangan ini saja, para remaja cenderung sibuk dengan diri dan dunia mereka sendiri. Mereka acap sudah terkontaminasi dengan pola pikir/prinsip hidup hedonism. Para remaja juga kurang informasi/dukungan dari orang-orang dewasa di sekitarnya dalam menanggapi panggilan Tuhan secara khusus. Maka dibutuhkan pendampingan yang perlu membina kepekaan dan meningkatkan keberanian mereka dalam menanggapi panggilan Tuhan. Kurang hadirnya tokoh idola bagi remaja sering dijadikan tumpuan kekecewaan, bahkan mereka sering tidak ingat bahwa Yesus yang adalah Putera Allah yang menjadi manusia, adalah tokoh idola paling sempurna. Remaja lupa bahwa Yesus sekaligus mengajarkan juga kepada dunia tentang cinta kasih yang tulus bagi sesama.
Makna panggilan hidup sebagai orang Katolik adalah setiap orang dipanggil untuk memiliki hidup yang suci dan kudus. Menjadi orang Katolik juga dipanggil untuk bertanggung jawab atas kehidupan Gereja berikut pasang surut dan silang sengkarutnya. Salah satu yang paling urgen adalah menurunnya jumlah Pastor, biarawan dan biarawati. Sejatinya, setiap orang Katolik berkewajiban untuk menanggulangi gejala dan fakta ini.
Bagi kaum muda, menjawab panggilan Tuhan (Matius 10:1-8 dan Yohanes 15:16) adalah mendekat kepadaNYA sehingga bisa menerima perutusan untuk menebarkan cinta kasih kepada sesama. Panggilan bukan hanya sekedar relasi antara aku dan Tuhan, namun juga menjadi tanggung jawab kita terhadap orang lain. Menjadi pastor, bruder dan suster adalah sebuah langkah konkrit untuk bertransformasi sebagai man for others. Panggilan Tuhan yang penuh berkat ini adalah sebuah usaha diri sekaligus rahmat Allah dalam upaya tanggung jawab sebagai warga Gereja. Gereja tanpa imam akan menjadi domba tanpa Gembala, tidak tentu arah tujuannya. Orang muda diajak berani untuk menjawab tantangan dan panggilan Tuhan ini.
Panggilan, selalu ada di dalam hidup manusia. Perutusan yang dimiliki setiap keluarga adalah pewarisan iman. Iman adalah tanggapan manusia atas panggilan Allah.
Keluarga adalah Gereja Kecil yang menjadi tempat tumbuhya pilihan-pilihan tanggapan atas panggilan hidup. Orangtua memberi dan menyediakan orientasi dan re-orientasi pilihan hidup, dan menjadi pengajar serta pendidik bagi anak-anak mereka. Keluarga menjadi agen Tuhan untuk menumbuhkan panggilan tersebut. Keluarga adalah rahim panggilan yang dianugerahi Tuhan bukan hanya tugas dan kewajiban untuk mengenalkan panggilan, tapi juga berkat yang banyak dan indah, dan salah satu berkat yang terindah adalah hidup yang penuh suka cita dan bahagia. (*)