Melayani Tuhan dengan Sepenuh Hati

whatsapp image 2019-01-13 at 22.24.46(1)

ANGELINE Ariani Setiawati atau yang akrab disapa Ine merupakan Ketua Seksi Kepemudaan Gereja Katolik Keluarga Kudus Paroki Pasar Minggu periode 2017-2020. Wanita kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1985 ini mulai terjun ikut pelayanan gereja sejak dini dan tak pernah lepas dari organisasi kepemudaan di gereja.

Saat berusia 20 tahun, Ine pernah menjadi Wakil Ketua Mudika Wilayah V St Yohanes. Ia juga pernah menjadi Ketua Panitia Retret Mudika Wilayah V pada tahun 2007. Wanita lulusan S2 STEKPI Business Management pada tahun 2011 ini juga tetap berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Gereja, terutama dalam kegiatan OMK, di sela-sela kesibukannya. Hingga kini, ia pun dipercaya untuk menjadi Ketua Seksi Kepemudaan. Apa yang membuatnya tetap aktif dalam kegiatan Gereja?

“Motivasinya sih sederhana aja, karena kita adalah anak dan pelayan Allah yang sudah merupakan hak dan kewajiban yang melekat dan tak dapat dipisahkan dalam hidup kita,” ujarnya saat berbincang dengan INSPIRASI.

Seperti yang tertulis dalam Yesaya 61:1-12 , di mana telah disebutkan secara jelas mengenai panggilan sebagai pelayan Tuhan: mengenai apa yang harus kita miliki, apa yang telah menjadi tugas kita, dan upahnya sebagai pelayan Tuhan.

“Kiranya lewat perenungan, kita tidak akan kehilangan visi dan arah hidup kita sebagai seorang pelayan Tuhan. Kita semua yang menjadi anak-anak Tuhan dipanggil untuk melayani Tuhan, sesuai dengan karunia, talenta dan kemampuan yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing,” ujar warga 5.01 St. Paulus ini.

Ine mengatakan, kita semua adalah pribadi-pribadi yang dikasihi Allah. Tak terhitung berapa banyak berkat dan rahmat-Nya yang telah dicurahkan bagi kita. Oleh karena itu, sebagai ungkapan rasa syukur atas kebaikan Allah, dan sebagai tanda kasih kita kepada-Nya, Ine turut berperan aktif dalam pelayanan gereja.

“Kita tidak dapat membalas segala kebaikan yang telah Tuhan berikan dalam hidup kita. Kita hanya dapat melayani Dia lewat penyerahan diri dengan segenap hidup kita kepada-Nya.” paparnya.

Maka dari itu, Ine mengimbau kepada semua umat, khususnya kepada kaum muda, untuk dapat berkarya dimana pun berada dengan banyak cara dari mulai hal yang sederhana.

“Berkarya lah dalam melayani Allah, melayani Gereja, melayani orang-orang di sekelilingmu dengan cinta kasih dan bukan karena ingin disanjung,” pungkasnya. (RAFA/KOMSOS)

Romo Rosi: Tetaplah Setia dalam Tugas Perutusan

DI tengah keramaian menyambut para imam baru, saya coba untuk mendekat kepada sosok yang menjadi pusat perhatian umat Paroki Pasar Minggu. Dia adalah Romo Ambrosius Lolong, Pr, yang juga merupakan teman satu angkatan saya saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Saat itu, ia baru saja selesai memimpin Misa Perdana bersama dengan tiga orang rekannya yang juga ditahbiskan pada 8 Mei 2018 di Gereja St. Laurensius, Alam Sutera, Tangerang.

Antrean umat mengular untuk bisa memberikan selamat dan meminta berkat darinya. Mulai dari orang tua, muda, hingga anak-anak. Paroki Pasar Minggu sangat bergembira dan bersyukur menyambut imam baru putra paroki tersebut.

“Deg-degan rasanya, karena ini di rumah sendiri. Tempat saya lahir dan berkembang. Di sisi lain, ada rasa syukur karena mendapat dukungan luar biasa dari umat. Saya pun yakin bahwa saya tidak berjalan sendirian. Ada umat yang selama ini saya jarang jumpa tetapi pada akhirnya mereka mendukung,” ujarnya Romo Rosi, begitu ia akrab disapa, saat ditanyakan kesannya terhadap antusiasme umat Paroki Pasar Minggu.

Tidak pernah terbersit sekalipun dalam benak pria kelahiran 6 November 1988 ini untuk menjadi imam. Hingga pada suatu malam, selepas misa Sabtu sore, ia bersama dengan dua temannya pergi bersama Romo Martinus Hadiwijaya, Pr  untuk berdoa di Taman Makam Pahlawan. Setelah dari sana, mereka pun di ajak untuk mampir ke rumah ibunda Romo Hadi yang saat itu sedang terbaring sakit. Hingga ketika Romo Rosi bertemu dengan ibunda Romo Hadi, ia mendapat berkat tanda salib di dahi dari sang ibunda sambil berkata, “Besok jadi romo ya, gantikan anak saya.”

“Itu pengalaman pertama saya bagaimana saya dipanggil dan pada akhirnya terjadi,” jawabnya sambil tersenyum.

Keinginannya menjadi imam pun bukan tanpa hambatan. Ia mengaku, orang tuanya dalam hal ini ibunda, awalnya kurang mendukung keinginannya untuk masuk Seminari Menengah Wacana Bhakti. Anak dari pasangan Veronica Endang H dan Laurentius Lewo S ini pun dapat memahami keberatan dari orang tuanya, lantaran dirinya yang menjadi anak tunggal.

“Karena anak tunggal, maka memberatkan hati mama melepas anak satu-satunya masuk seminari. Dalam perjalanannya pun butuh proses panjang. Tapi pada akhirnya sekarang bersyukur bersama,” paparnya.

Ia pun tidak tahu persis kapan ibundanya akhirnya merestui dirinya menjadi imam. Tapi, menurutnya, selama tidak pernah diminta untuk keluar, baginya itu berarti orang tuanya pun turut merestui. Ia pun ingat pesan ayahanda kepadanya untuk selalu bertanggung jawab terhadap segala pilihan hidup yang ditempuhnya.

“Untuk teman-teman yang masih muda, tidak perlu berdoa saya mau menjadi imam. Tapi berdoalah dengan keterbukaan hati meminta kepada Tuhan agar hidup yang kita jalani ini sesuai kehendak-Nya, apapun itu,” ungkapnya.

Ia mengaku terus belajar untuk setia dalam setiap perutusan. Termasuk ketika masuk tahun orientasi pastoral di Seminari Menengah Mertoyudan, tempat yang awalnya dikhawatirkannya karena tak bisa berbahasa Jawa. Sampai ia berjumpa dengan para seminaris yang meneguhkannya, akhirnya ia pun dapat melalui kekhawatirannya itu.

“Ketika saya belajar untuk setia, disitu saya menemukan hal-hal kecil yang selalu meneguhkan. Saya percaya, apapun tantangannya pasti selalu ada hal baik di balik itu semua,” tandasnya.

Tapat tanggal 1 Juli 2018 kemarin, Romo Rosi yang kini masih menempuh studi S2 Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, resmi menjadi gembala baru di Paroki Harapan Indah, Bekasi menggantikan Romo Pramono Wahyu Nugroho, Pr. Proficiat dan selamat Romo. Tuhan selalu menyertai dengan berkat dan kekuatan. Jadilah berkat untuk umat dan masyarakat. (ASTRI NOVARIA/KOMSOS)

Hadirkan Spiritualitas Gereja Katolik di Tengah Masyarakat Majemuk

IMG-20180319-WA0000

IWAN Christiawan Budiwibowo, atau yang akrab disapa Iwan, adalah salah satu umat Paroki Pasar Minggu yang terlibat dalam kepanitiaan tahun persatuan 2018. Kepada KOMSOS, pria lulusan Fakultas Hukum Universitas 11 Maret, Solo, pada tahun 1990 ini bercerita pernah terlibat sebagai salah satu pendiri organisasi dalam paroki bernama “Lex Perfecta”, sebuah lembaga bantuan hukum non-profit yang melayani kebutuhan umat paroki yang mempunyai permasalahan hukum pada saat Paroki Pasar Minggu berada di bawah kepemimpinan Romo Hadiwijoyo.

Pada periode tahun 2017-2020, pria kelahiran tahun 1971 ini ditunjuk oleh Pastor Paroki Pasar Minggu untuk menjadi Ketua Seksi Keadilan dan Perdamaian Gereja (SKP), sebuah seksi/pelayanan baru dalam paroki yang dilandasi semangat filosofis “sebuah rumah besar untuk membangun keutuhan ciptaan-Nya”.

SKP memiliki empat pilar karya yakni Sub Seksi Lingkungan Hidup, Sub Seksi Hukum dan HAM, Sub Seksi Keadilan dan Kesetaraan Gender, serta Sub Seksi Peduli Migrant dan Perantau. Meskipun SKP belum terlihat secara nyata, Iwan mengatakan bahwa Sub Seksi Lingkungan Hidup sudah mulai berperan dalam paroki seperti kegiatan bak sampah, hidroponik, dan lain-lain. Ketiga sub seksi yang lain baru mendapatkan pembekalan materi dari KAJ namun sudah menyusun beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun 2018 ini seperti pemberian konsultasi hukum gratis di tiap hari Jumat bagi yang membutuhkan.

Dalam rangka tahun persatuan 2018, atas permintaan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) untuk membentuk Panitia Penggerak Paroki, Iwan ditunjuk oleh DPH/romo untuk menjadi ketua Panitia Penggerak Paroki Pasar Minggu. Semangat membangun tahun persatuan ini berawal dari keprihatinan bersama mengenai terkikisnya nilai-nilai toleransi antar sesama anak bangsa yang berbeda suku, agama, antar golongan.

“Maksud dan tujuan tahun persatuan yang dicanangkan oleh KAJ itu adalah untuk menghadirkan spiritualitas Gereja Katolik secara nyata di tengah masyarakat yang majemuk dengan konsep utama ‘Amalkan Pancasila, Kita Bhinneka Kita Indonesia’,” jelas Iwan.

Gereja, sambung dia, dituntut untuk hadir dan mampu menjaga semangat keutuhan persatuan dalam bingkai NKRI. Iwan, beserta panitia tahun persatuan paroki telah menyusun berbagai rencana seperti misa inkulturasi, pembagian takjil ke mushola-mushola sekitar gereja, membantu sumbangan hewan qurban, silahturahmi ke berbagai tokoh masyarakat dan agama di sekitar lingkungan paroki, fun run tahun kemerdekaan bersama tokoh-tokoh ormas/pemuda lintas agama, seminar kebangsaan dan sebagainya. Selain itu, panitia juga akan mengikuti pedoman yang telah diberikan oleh KAJ yaitu gerakan transformatif.

Iwan mengakui bahwa ia senang terlibat dalam panitia tahun persatuan paroki sebab ia beserta panitia mengenal orang-orang yang berbeda agama, suku, dan golongan. Meskipun ia dan setiap anggota panitia memiliki kesulitan dalam waktu untuk bertemu karena kesibukan mereka masing-masing, Iwan yakin bahwa dengan komitmen dan integritas yang dibalut dengan spiritualitas pelayanan kesulitan tersebut dapat diatasi.

Iwan juga berharap, setelah berakhirnya tahun persatuan, semua orang baik umat katolik maupun umat lintas agama menjadi semakin toleran, menghargai perbedaan dan senantiasa bergandengan tangan bekerja sama menyongsong Indonesia yang lebih baik. (RAFA/KOMSOS)

Tuhan yang Menyembuhkan

Romo Yote

SIAPA yang tak tahu Romo Letkol (Sus) Yos Bintoro, Pr? Fotonya sempat viral pasca ia menjadi Komandan Upacara HUT TNI ke-72 di Akademi Angkatan Udara (AAU), Yogyakarta. Bukan sebuah perjalanan yang mudah hingga saat ini dirinya bertugas sebagai pastor militer pertama yang mengikuti pendidikan reguler ketentaraan dalam sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Juga bukan sebuah perjalanan yang singkat sejak Romo yang akrab disapa Romo Yote ini memilih untuk menjawab panggilan hidupnya untuk menjadi seorang imam.

Romo Yote mengatakan sebuah anugerah sejatinya tidak selalu hadir dalam keadaan baik. Bahkan, dalam keadaan tidak baik pun, anugerah bisa menghampiri. Ia menceritakan bahwa sejak bayi, ia sudah “dikaruniai” Tuhan sebuah penyakit bawaan lahir, yakni epilepsi perut. Dan ketika ia berusia 3 tahun, ia mengalami kecelakaan yang menyebabkan kaki kanannya terbakar. Saat usianya 5 tahun, ia pun pernah jatuh yang menyebabkan kepalanya bocor karena terantuk batu. Kondisi ini menyebabkan anak kelima dari enam bersaudara pasangan Rafael Ignatius Djoko Sukaryo Martokusumo dan Ray Maria Dolores Mursyanti ini jarang masuk sekolah karena banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Alhasil, Yote kecil sering ketinggalan pelajaran dan terbilang tak berprestasi di sekolahnya.

“Dalam situasi tidak baik itu, ibunda Romo bilang, kalau mau sembuh kamu harus percayakan sama Tuhan Yesus. Romo percaya Tuhan bisa menyembuhkan. Dan ternyata betul, Romo mengalami penyembuhan secara medik yang tidak bisa dijelaskan. Tadinya Romo pakai terapi pijat karena yang rusak ternyata juga termasuk saraf tepi dari tulang belakang saat jatuh itu. Ibu juga bantu doa dan sempat bernazar. Ibu doa sama Bunda Maria secara khusus di Lourdes dan mengambil air disana. Air itu dicampur dengan obat-obat Romo. Akhirnya, Romo sembuh,” ungkap Romo Yote.

Kesembuhan itu semakin diyakininya saat hasil tes medik Electroencephologram (EEG) menyatakan negatif dan juga saraf tepi tulang belakangnya sudah kembali normal. Romo Yote mengucap syukur kepada Tuhan karena penyakit yang hampir 4 tahun menghantuinya itu akhirnya sembuh seketika. Ia duduk di bangku kelas V SD, saat kondisinya membaik. Sejak itu, rasa percaya dirinya mulai tumbuh dan Romo Yote pun mulai mengejar ketertinggalannya hingga bisa berprestasi di sekolahnya.

“Satu hal, Romo merasa Tuhan baik. Saat kelas V SD, Romo berfikir, apa yang bisa Romo berikan (kepada Tuhan) karena Tuhan sudah baik sama Romo. Romo sering ke Gereja dan selalu mendapatkan kedamaian. Kenapa Romo menjadi Romo, karena Romo ingin mempersembahkan hidup untuk Tuhan,” papar imam yang juga mengajar di Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta ini.

Saat masuk seminari dan menjadi imam, ia sadar bahwa sakramen imamat bukan tujuannya. Menurutnya, sakramen imamat hanya sebagai sarana. Tujuannya adalah hidup suci. Dan hidup suci bukan hanya menjadi pastor saja, melainkan menjadi orang yang berguna bagi sesama. Oleh karena itu, ia tak pernah main-main dengan panggilannya sebagai pastor militer. Apalagi sebagai tentara, ia menghadapi godaan yang luar biasa, mengingat jenjang karier militer cenderung naik.

“Romo mengira tugasnya akan di Jakarta, karena Romo memilih jadi Romo projo Jakarta. Namun, Romo disiapkan oleh Mgr. Leo Sukoto bertugas di Tangerang. Itu cita-cita Romo, mimpi untuk orang-orang kecil, para penderita kusta. Romo punya hati disitu. Tapi, tak lama uskupnya ganti (Uskup Agung Jakarta Julis Kardinal Darmaatmadja, SJ) dan Bapa Kardinal memanggil Romo dan ditugaskan khusus untuk menjadi pastor tentara. Padahal, Romo tidak suka tentara,” ungkapnya.

Romo Yote mengakui, di masa pencariannya berkarya sebagai pastor militer, ia sempat frustasi selama empat tahun. Namun, ia langsung teringat akan kebaikan Tuhan kepadanya. Ia teringat pula akan kuasa Tuhan yang mengubah kehidupannya. Atas keyakinan itu pula, ia belajar untuk menerima dan tak terasa ia sudah menjalani tugas ini selama 21 tahun.

“Bapa Kardinal bilang sama Romo, Bintoro saya tahu kamu oposan sama tentara. Tapi saya beritahu, tentara tidak bisa kamu kritik dan benahi dari luar. Tentara harus kamu benahi dari dalam. Maka itu saya ditempatkan di tempat pembentukan calon pemimpin yaitu Akademi Angkatan Udara supaya karakter mereka terbentuk. Sekarang, Romo sudah jalani tugas ini selama 21 tahun. Kelihatan nggak, Romo frustasi? Tidak, karena Romo selalu dalam suka cita,” ujar Romo yang pernah ditugaskan dalam Operasi Satuan Tugas Pembina Mental di Timor Timur, selama delapan bulan ini.

Seiring waktu, ia sadar tugas di TNI AU tidak cukup hanya memberikan pembinaan rohani atau sekedar pelayanan pastoral saja. Namun, saatnya berbuat sesuatu yang menyiapkan apa yang dibutuhkan TNI AU ke depan. Hingga akhirnya di tahun 2001, ia mampu merenovasi gudang di kawasan Pangkalan TNI AU untuk dijadikan bangunan gereja beserta pastoran. Dua tahun berselang, TNI AU menghibahkan bangunan gereja itu kepada Gereja Katolik yang diberi nama Gereja St. Mikael.

“Pengalaman untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus adalah pengalaman untuk siap menderita. Penderitaan itu dianggap sebagai suatu cara untuk menghidupi iman kita. Kita harus bersyukur dididik dalam kesulitasn dan rintangan agar teguh menghadapi badai namun juga berbelas kasih kepada mereka yang gagal sehingga kita menjadi manusia yang hatinya jernih,” pungkasnya. (ASTRI NOVARIA/KOMSOS)

Pelayanan adalah Perwujudan Rasa Syukur

rossi_1

BAGI penikmat program berita, tentu tidak asing lagi dengan wanita yang satu ini. Di tengah kesibukannya yang luar biasa di dunia jurnalistik, pemilik nama lengkap Rosianna Magdalena Silalahi ini masih aktif dalam tugas pelayanan di Gereja Katolik Keluarga Kudus Pasar Minggu sebagai lektris. Putri bungsu dari lima bersaudara pasangan L.M Silalahi (alm) dan Ida Hutapea (alm) ini mengaku sejak kecil di keluarganya sudah dididik dengan nilai-nilai Katolik. Selain menempuh pendidikan di sekolah katolik, Rosi sejak kecil sudah dibiasakan oleh orangtuanya untuk berdoa, mulai dari bangun tidur, sebelum makan, dan sebelum tidur. Baginya, berdoa adalah salah satu kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan, memohon dan juga bersyukur.

“Di akhir tahun, kami justru tidak terbiasa melakukan pesta tutup tahun di luar rumah, tetapi berkumpul bersama untuk berdoa bersama. Bersyukur atas tahun yang sudah dijalani dan memohon pertolongan untuk tahun yang akan dihadapi,” ujar wanita kelahiran Pangkal Pinang, Bangka Belitung 26 September 1972.

Tak heran, kedua orang tua Rosi pun aktif di lingkungan gereja, hingga hal ini juga dicontoh olehnya. L.M. Silalahi (alm) aktif sebagai Ketua Dewan Paroki, sementara Ida Hutapea (alm) aktif di Legio Maria. Meski saat ini ia siuk menggawangi news room Kompas TV sebagai Pemimpin Redaksi, Rosi masih menyempatkan diri untuk berkarya dalam pelayanan gereja.

“Saya mungkin tidak bisa seaktif ayah dan ibu saya, tapi saya mencoba untuk bisa memberi apa yang bisa saya lakukan untuk kegiatan gereja. Dulu sempat mudika, lalu kemudian menjadi lektris hingga sekarang. Saya tidak bisa aktif di lingkungan karena jam yang sering bersamaan dengan jam kerja hingga malam. Tidak banyak yang bisa saya berikan, tapi semampu mungkin saya bisa bertugas sebagai lektris sesuai jadwal yang diberikan,” ujar Mantan Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV ini.

Warga lingkungan 5.01 St. Paulus ini bersyukur karena dibesarkan dalam keluarga yang memberikannya kesempatan untuk menjadi seperti apa yang diinginkan dengan komitmen dan tanggungjawab. Istri dari Dino Gregory Izaak ini juga mengaku mendapat dukungan penuh dari suaminya sehingga ia dapat membagi waktu antara keluarga, pelayanan gereja dan juga karier secara seimbang.

“Jika dalam bekerja saja mendapat dukungan dari suami, apalagi soal pelayanan. Bahkan itu jadi kesempatan kami untuk hari ‘super wajib ke gereja’ hehe,” tandasnya.

Baginya, menjadi katolik adalah menjadi pribadi yang melayani. Apapun yang dilakukan adalah mempersembahkan yang terbaik sesuai dengan tugas panggilan masing-masing, begitu yang ia yakini sebagaimana orang tua mendidiknya.

“Ibu saya mendidik anak-anaknya dengan nilai religius, lewat tindakan dan perbuatan. Menjadi orang katolik adalah menjadi orang yang percaya dalam iman, bekerja dengan tanggung jawab dan baik pada sesama. Saya bersyukur diberikan talenta oleh Tuhan dan saya ingin mempersembahkannya bagi kemuliaan Tuhan,” tutupnya. (ASTRI NOVARIA/KOMSOS)