BEREFLEKSI atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
Dari perumpamaan ‘anak hilang’ tersebut ada tiga tokoh yang layak menjadi permenungan kita:
(1) Anak bungsu yang berfoya-foya
(2) Anak sulung yang merasa setia pada bapa dan
(3) Bapa yang baik hati, penuh belas kasih.
Maka kiranya masing-masing dari kita dapat bercermin pada tiga tokoh tersebut:
(1) Anak bungsu/yang hilang: mungkin kita seperti anak bungsu yang telah berfoya-foya memuaskan diri dengan kekayaan yang telah kita miliki misalnya untuk judi, pelacuran, mabuk-mabukan dst, tetapi mungkin juga telah menghamburkan/boros waktu atau tenaga untuk sesuatu yang kurang berguna bagi kesehatan, keselamatan, kesejahteraan atau kebahagiaan sejati hidup kita, marilah dengan besar hati kita mengaku dosa alias bertobat. Tidak perlu malu-malu minta maaf kepada sesama maupun mengakukan dosa secara pribadi kepada imam yang bertugas. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat.
(2) Anak sulung: rasanya kebanyakan dari kita merasa diri seperti ‘anak sulung’, nampak dengan setia dan taat dalam bekerja maupun hidup bersama, rajin, baik-baik saja, tetapi mungkin dalam hati sebenarnya yang dicari adalah pujian untuk menyombongkan diri bahwa dirinya orang yang baik dan hebat, tidak merasa dan tidak menghayati bahwa semuanya itu dapat terjadi karena kasih karunia Allah melalui sesama kita, orangtua, kakak-adik, sahabat dan kenalan atau rekan-rekan. Dengan kata lain menjadi seperti ‘anak sulung’ adalah seperti orang Farisi yang tak tahu terima kasih dan syukur dan pada umumnya mengasingkan diri alias kurang pergaulan (hanya bergaul dengan orang-orang tertentu saja). Perasaan dan penghayatan macam itulah yang menjadi akar kesombongan atau dosa; orang sombong memang tidak mau ‘menyatu’ dengan teman-teman atau sahabat-sahabat melainkan menyendiri, sebagaimana dalam perumpamaan Injil hari ini ‘anak sulung’ diminta menggabungkan diri dalam pesta pertobatan adiknya, saudaranya tidak memberi tanggapan, ngambeg, tidak mau bergabung. Orang yang demikian memang sulit menyadari diri sebagai yang berdosa, padahal ‘cara hidup atau cara bertindaknya’ telah menjadi batu sandungan bagi sesamanya, dengan kata lain ia telah menyebabkan orang lain berdosa (antara lain ngrasani atau ngrumpi). Cara hidup atau cara bertindak ini pada umumnya terjadi pada orang dewasa, senior, pemimpin atau atasan, pandai, berkedudukan, berpangkat, kaya dst.
(3) Bapa yang penuh belas kasih: bapa yang penuh belas kasih, dengan gembira, hati dan tangan terbuka menyambut anaknya yang ‘hilang’ pulang kembali memang merupakan gambaran dari Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Sebagai umat beriman, orang yang beriman pada Yesus Kristus, kiranya kita semua dipanggil untuk menjadi ‘gambar Allah Pengasih dan Pengampun’, bukan hanya pada imam/pastor yang berada di dalam kamar pengakuan saja. “Berkat kuasaMu juga, cinta mengalahkan kebencian, ampun menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan” (Bdk. Prefasi DSA VI). Kasih pengampunan merupakan ciri khas hidup iman Kristiani, iman pada Yesus Kristus, maka marilah kita hayati dan wartakan kasih pengampunan dalam hidup kita sehari-hari di manapun dan kapanpun juga.
Hari Minggu Prapaskah IV